Mardiyem adalah salah satu korban perbudakan seks tentara Jepang selama masa pedudukan 1942-1945. Kisahnya sebagai seorang budak seks tertutur dalam sebuah buku berjudul “Momoye: Mereka Memanggilku” yang ditulis oleh Eka Hindra bersama Koichi Kimura dan terbit tahun 2007.
Mardiyem adalah anak yatim-piatu yang sehari-hari bekerja sebagai abdi dalem dengan tugas mengurus kuda dan kereta. Usianya 13 tahun ketika otorita Jepang setempat membuka kesempatan bagi anak-anak perempuan untuk menjadi pemain sandiwara. Karena gemar bernyanyi, ia pun ikut mendaftar. Mereka yang terpilih diwajibkan menjalani pemeriksaan kesehatan. “Adik ‘kan mau naik kapal, Borneo jaraknya jauh bisa dua sampai tiga hari di dalam kapal, jadi badannya harus sehat…,” demikian alasan yang diberikan asisten dokter Soesroedoro yang membuka praktek di daerah Panembahan, Yogyakarta, kepada Mardiyem yang tahunya hanya bahwa ia bakal gabung dengan kelompok sandiwara Pantja Soerja di Borneo [kini Kalimantan].
Selain Mardiyem, ada sekitar 40 anak perempuan lain yang berusia antara 16 – 22 tahun yang ditumpangkan ke sebuah kapal menuju Borneo pada bulan Agustus atau September 1942. Hanya Mardiyem dan tiga anak perempuan lainnya yang baru berusia 13 tahun, yaitu Soetarbini dari Tedjokusuman, Karsinah dari Tamansari, dan Jaroem dari Sosrowijayan. Satu kapal, namun macam-macam harapan yang disimpan para perempuan yang diangkut dari Jawa ke Borneo itu. Mardiyem mengharapkan dirinya menjadi pemain sandiwara sesuai janji, namun yang lain-lain ada yang mengharapkan pekerjaan sebagai pembantu rumahtangga atau pelayan rumah makan. Ketika akhirnya mereka berlabuh di Borneo, nasib yang menanti samasekali di luar harapan apa pun yang pernah ada di atas kapal itu.
Seminggu setelah sampai di Banjarmasin, Mardiyem dan sejumlah perempuan lain yang sekapal kemudian dibawa ke Hotel Telawang. Mardiyem ditempatkan di kamar No.11 dan harus menjawab bila dipanggil Momoye, nama alias baginya yang konon diambil dari nama seorang penyanyi terkenal Jepang di masa itu. Mardiyem tidak pernah menyangka bahwa dengan nama itu dirinya terhempas tanpa daya ke perangkap perbudakan seks militer Jepang. Tubuhnya menjadi pelampiasan, permainan dan sasaran puluhan lelaki, silih berganti, siang dan malam setiap hari. “Perlakuan seperti binatang, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa,” kenang Mardiyem penuh rasa pahit. Hotel Telawang ternyata sebuah ‘ianjo’, yaitu semacam bordil yang disediakan oleh militer Jepang untuk digunakan oleh personilnya.
Ketika ia mengandung lima bulan, ia dipaksa untuk menggugurkan janin. “Perut saya ditekan, sakitnya bukan main, dan ketika keluar, janin masih menggeliat,” demikian kenang Mardiyem tentang masa lalunya yang gelap pada suatu wawancara dengan Radio Nederland di awal tahun 2007. Ia menengadah, memandang langit-langit rumahnya yang mungil di Yogyakarta. Sejak pengguguran paksa itu, Mardiyem cacat rahim seumur hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar