Jumat, 20 Agustus 2010

Jugun ianfu

Tiada yang lebih menyakitkan dan merendahkan ketika pengalaman pribadi seseorang dinyatakan tidak benar dan bahkan diingkari. Namun itulah yang terjadi pada para eks jugun ianfu, istilah Jepang bagi ‘perempuan penghibur’, yang sesungguhnya adalah para perempuan yang dipaksa dengan kekerasan menjadi budak seks militer Jepang pada Perang Dunia II. Awal bulan Maret 2007, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengatakan bahwa tidak ditemukan bukti-bukti terjadinya pemaksaan terhadap para perempuan untuk menjadi budak seks selama pendudukan Jepang di Asia Pasifik.

Pernyataan resmi pemerintah Jepang tersebut bukan hanya menyakiti para eks jugun ianfu, melainkan mengingkari bukti-bukti sejarah yang ada. Pernyataan Perdana Menteri Abe ini menyulut kemarahan di negara-negara seperti Cina, Korea, Filipina dan Belanda yang sejumlah warganya juga menjadi korban perbudakan seks tentara Jepang ketika menduduki Indonesia. Para sejarawan memperkirakan bahwa terdapat sekitar 200 ribu perempuan Korea, Cina, Filipina, Taiwan dan Indonesia yang dipaksa menjadi budak seks tentara Dai Nippon pada waktu itu. Di Indonesia sendiri terdapat sekitar 1.500 perempuan yang sebagian besar telah wafat, dan kalaupun masih hidup, sudah sangat renta. Apabila pemerintah Jepang menyatakan tidak ditemukan bukti adanya pemaksaan, apakah dengan demikian kesaksian 200 ribuan perempuan yang menyatakan diri mereka dipaksa ke dalam perbudakan seks itu adalah bohong belaka?
Tahun 1992, untuk pertama kalinya, Kim Hak Soon korban asal Korea Selatan membuka suara atas kekejaman militer Jepang terhadap dirinya ke publik. Setelah itu masalah jugun ianfu pun terbongkar dan satu per satu korban dari berbagai negara angkat suara. Dengan semakin kuatnya gaung suara korban yang sahut-bersahutan di wilayah Asia-Pasifik, tahun 2000 digelar Tribunal Tokyo yang menuntut pertanggung-jawaban Kaisar Hirohito dan pihak militer Jepang atas praktek perbudakan seksual selama perang Asia-Pasifik. Tahun 2001 final keputusan dikeluarkan di Tribunal The Hague, Negeri Belanda. Setelah itu tekanan internasional terhadap pemerintah Jepang terus dilakukan.

Namun dari pernyataan Perdana Menteri Abe di atas, jelas negara Jepang tetap berpendirian bahwa tidak ada yang perlu dimintakan maaf dan tidak ada yang perlu diberi santunan. Dengan tidak diakuinya semua kesaksian dari para korban, cerita tentang keberadaan mereka pun tidak ditemukan di buku pelajaran sejarah sekolah-sekolah di Jepang. Pada bulan Oktober 2007, kongres Amerika Serikat mengeluarkan resolusi tidak mengikat yang menekan pemerintah Jepang untuk memenuhi tanggung jawab politik atas persoalan jugun ianfu di Asia Pasifik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar